Laporan
Praktikum Toksikologi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kemampuan mikroorganisme (kuman, jamur, virus atau parasit)
untuk menyebabkan infeksi disebut dengan istilah patogen, sedangkan derajat
patogenitasnya disebut dengan istilah virulen. Pengukuran virulensi kuman dapat
dilakukan dengan MLD (minimum lethal dose) yaitu dosis kuman minimal
yang dapat mematikan binatang coba pada waktu yang ditentukan atau LD50 (lethal
dose 50) yaitu dosis kuman yang dapat mematikan binatang coba sebanyak 50%
pada waktu yang ditentukan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan pengukuran
50% end-point tergantung dari efek yang diamati. Kalau efek yang diamati
kejadian infeksi, maka dipakai istilah ID50 (infective dose 50), bila
bukan kematian atau infeksi tetapi efek lain yang diamati, maka dipakai istilah
ED50 (effective dose 50). Pada vaksinasi disebut PD50 (protecting
dose 50) dan pada titrasi virus pada kultur embrio ayam disebut TCD50 (cytopthic
effect dose 50). Pada umumnya para ahli sepakat bahwa LD50 hanya digunakan
untuk menentukan derajat virulensi penyebab infeksi dibidang kedokteran. Pada
LD50 yang semakin kecil, maka penyebab infeksi semakin virulen. Lethal Dose
50 bersifat lebih praktis dikerjakan dan lebih dipercaya hasilnya daripada
MLD.1 Tidak ditemukan pustaka baru yang membicarakan tentang metode penentuan
LD50 pada binatang coba karena metode ini merupakan metode yang sudah baku.
Suatu zat/obat dapat bertindak sebagai zat toxic. Toksistas
yang ditimbulkan juga berbeda-beda, dipengaruhi oleh beberapa factor antara
lain dosis, rute pemberian, interaksiobat, temperatur, musim, serta faktor
endogen (umur, berat badan, jenis kelamin, serta kesehatan, hewan.
Interaksi
obat mempunyai 3 macam tipe, yaitu dapat bersifat agonis, poteniasi, dan
antagonis. Suatu obat mungkin mengantagonis kerja obat yang lainnya dengan
terikat pada reseptor obat tersebut dan tidak mengaktifkan obat tersebut. Dalam
hal ini satu obat yang mengantagonis obat lainnya hanya dengan mengikat dan
membuatnya tidak tersedia untuk berinteraksi dengan protein yang terlibat.
Kasus
keracunan akut lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik karena biasanya
terjadi mendadak setela mengkonsumsi sesuatu. Gejala keracunan akut dapat
menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan
keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, diare,
konvulsi, koma, dansebagainya. Gejala yang mengarah kesuatu diagnosis keracunan
sebanding dengan banyaknya jumlah golongan obat yang beredar.
LD50 merupakan
dosis yang menyebabkan 50% dari hewan coba mengalami kematian. Pada percobaan,
LD50 nya adalah 317,47 mg/kgBB. Bila dosis yang digunakan lebih dari dosis
tersebut, maka hewan coba akan mengalami kematian 100%. ED50 sendiri merupakan
keefektifan suato obat mampu menunjukkan efk yang diharapkan. Makin besar
perbedaan antara LD50 dengan ED50 maka semakin baik obat tersebut.
Xylazine bekerja
melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi
reseptor postsinap α2-adrenoseptor
sehingga menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung,
penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine
pada susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α2-adrenoseptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis,
mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor α2, Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam
dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam
dan lama serta durasi panjang. Xylazine diinjeksikan secara intramuskular
menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan
akan hilang dalam waktu 24 –48 jam. -adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur
penyimpanan dan atau pelepasan dopamin dan norepineprin. Xylazine menyebabkan
relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan
syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan
termoregulator.
Xylazine
menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi, kemudian
dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hypnosis, tidak sadar dan akhirnya
keadaan teranestesi.Pada sistem pernafasan, xylazine menekan pusat pernafasan.
Xylazine juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi transmisi
intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xylazine pada anjing menghasilkan efek
samping merangsang muntah tetapi dapat mengosongkan lambung pada anjing diberi
makan sebelum dianestesi.
Adanya Animal Welfare Acts tahun
1966 dan aktifis penyayang binatang yang memprotes penggunaan binatang coba,
maka ada etika tentang penggunaan binatang coba di laboratorium, diantaranya
penggunaan binatang coba yang jumlahnya dibatasi. Sebelum melakukan penelitian
untuk mempelajari tentang respon imunologi infeksi pada binatang coba,
sebaiknya diketahui terlebih dulu berapa LD50-nya pada binatang coba sehingga
dapat dipilih dosis infeksi yang tepat. Tidak ditemukan informasi tentang
ekstrapolasi LD50 toksoplasma dari binatang yang dapat diterapkan untuk dosis
infeksi pada manusia, tetapi dengan diketahuinya LD50, maka dapat diketahui
pula virulensinya apakah termasuk genotype yang virulen atau yang non virulen.
1.2 Tujuan
a.
Untuk
mengetahui dosis yang dapat menyebabkan hewan mati (Dosis Letal) dan efektif
dosis yang digunakan
b.
Untuk
mengetahui target kerja suatu zat
c.
Untuk
mengetahui sifat dan efek kerja suatu zat atau gejala
klinis yang
ditimbulkan dari berbagai macam keracunan obat
d.
Untuk mengetahui efek
atau interaksi yang ditimbulkan dari obat yang bersifat antagonis yang
digunakan sebagai antidota.
e.
Untuk
mengetahui kemampuan presipitasi suatu zat jika dikombinasikan dengan zat lain
BAB II
MATERI DAN METODE
II.1 Persiapan alat dan bahan:
II.1.1
Alat :
a.
Spoit
b.
Alat
timbang
c.
Penyaring
d.
Corong
e.
Tabung
reaksi
f.
Gelas
reaksi
g.
Tabung
erlenmeyer
II.1.2
Bahan
a.
Mencit
16 ekor umur dibawah 21 hari
b.
Xylacin
c.
Arang
d.
Atropin
Sulfat
e.
Sulfonamid
(merk dagang HIT)
f.
Zat
tannin dari teh
g.
Merkuri
(Hg) / raksa thermometer
II.2 Metode Kerja
II.2.1 Uji LD50 / ED50
Cara kerja :
a.
Mencit
yang telah disiapkan di timbang berat badannya dan beri tanda.
b.
Menentukan
rute pemberian dosis, dapat dilakukan per oral, per injeksi, subcutan, intra
muscular, dan dermal. Praktikum ini menggunakan rute pemberian secara intra
muscular (IM)
c.
Penentuan
dosis, adapun tingkatan dosis yang digunakan yaitu :
-
0,025
mg/kgBB
-
0,05
mg/kgBB
-
0,1
mg/kgBB
-
0,2
mg/kgBB
d.
Obat
yang digunakan yaitu Xylacin disuntikkan secara IM kepada mencit dengan dosis
yang telah ditentukan.
e.
Amati
gejala yang dialami mencit
f.
Pengamatan
dilakukan beberapa saat jika mencit ada yang mati, dan lakukan pencatatan.
II.2.2 Uji Antidota
II.2.2.1 Uji
Xylacin dan Arang
Cara
kerja
a.
Siapkan
2 ekor mencit :
1)
Mencit
1
a) Xylacin diambil dengan spoit sebanyak 3
cc
b) Ambil arang secukupnya dan ditumbuk
halus, setelah itu arang di filtrate atau disaring dengan menggunakan kertas
saring.
c) Lakukan pencampuran antara xylacin dan
arang (1:1) dengan menggunakan tabung reaksi. Tambahkan sedikit aquades.
d) Ambil dengan menggunakan spoit campuran
xylacin dan arang tadi sebanyak 0,01 ml
e) Injeksikan secara IM pada mencit
2)
Mencit
2
a) Xylacin diambil dengan spoit sebanyak
0,01 ml
b) Xylacin langsung di injeksikan pada
mencit secara IM sebanyak 0,01 ml
b.
Lakukan
pengamatan terhadap efek, dan bandingkan gejala yang dialami oleh mencit 1 dan
mencit 2
II.2.2.2 Uji
Organofosfat (merk dagang HIT) dan Atropin
Untuk mengetahui efek sulfonamide (HIT) terhadap mencit.
Cara kerjanya yaitu :
a.
Semprotkan
HIT pada tabung reaksi dan diambil dengan menggunakan spoit sebanyak 1ml
b.
Atropine
juga diambil dengan spoit sebanyak 1 ml
c.
Siapkan
2 ekor mencit
1)
Mencit
1
a)
Di
injeksikan Atropin 0,01 ml secara Intra peritonium pada mencit, kemudian di
injeksikan lagi sulfonamide (HIT) secara Subcutan (SC) 0,6 ml.
b)
Amati
gejala yang dialami mencit
2)
Mencit
2
a)
Di
injeksikan langsung dengan Sulfonamid (HIT) 0,6 ml secara Subcutan (SC) tanpa menggunakan atropine
b)
Amati
gejala yang dialami mencit
d.
Lakukan
pengamatan terhadap efek, dan bandingkan gejala yang dialami oleh mencit 1 dan
mencit 2
II.2.2.3 Keracunan
Atropin
a.
Ambil
satu atau dua ekor mencit.
b.
Injeksikan
atropine sebanyak 1 mg/ml pada mencit
c.
Lakukan
pengamatan terhadap efek dan gejala yang dialami oleh mencit.
II.2.3 Uji Presipitasi Tanin terhadap logam
merkuri (Hg)
Cara
kerja
a.
Logam
merkuri, dapat diperoleh dari alat pengukur suhu thermometer, kemudian merkuri
(Hg) yang telah disiapkan tersebut dihaluskan.
b.
Merkuri
(Hg) dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan tannin dari teh. Lalu
kocok perlahan.
c.
Lakukan
pengamatan dan periksa adanya endapan dan presipitasi oleh merkuri (Hg)
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Uji LD 50
Setelah melakukan praktikum ini dimana
obat xylacin diinjeksikan pada mencit, diperoleh hasil yaitu :
a.
Gejala
yang dialami oleh mencit, adalah :
-
Bulu
berdiri
-
Kejang
-
Ekor
berdiri
-
Kesulitan
bernafas
-
Hipersalivasi
b.
Adapun
hasil LD50 pada praktikum ini, yaitu :
No.
|
Berat Mencit (gr)
|
Dosis
|
Keterangan
|
1.
|
22
|
0,1
|
Lethal
|
2.
|
19
|
0,0125
|
Hidup
|
3.
|
20
|
0,1
|
Lethal
|
4.
|
21
|
0,05
|
Hidup
|
5.
|
19
|
0,05
|
Lethal
|
6.
|
19
|
0,1
|
Lethal
|
7.
|
21
|
0,0125
|
Lethal
|
8.
|
24
|
0,125
|
Hidup
|
9.
|
29
|
0,0125
|
Hidup
|
10.
|
27
|
0,1
|
Hidup
|
11.
|
26
|
Hidup
|
|
12.
|
27
|
0,05
|
Hidup
|
13.
|
22
|
0,0125
|
Hidup
|
14.
|
23
|
0,0125
|
Hidup
|
15.
|
31
|
0,0125
|
Hidup
|
16.
|
24
|
0,0125
|
Hidup
|
Dengan rician mencit yang lethal adalah sebagai berikut :
-
0,2mg/kgBB =
4 ekor
-
0,1
mg/kgBB =
3 ekor
-
0,05
mg/kgBB =
1 ekor
-
0,025
mg/kgBB =
0 ekor
c.
Perhitungan
rumus :
r =
0,1,3,4
df =
0,35
Log LD50 = Log D + d (f +1)
ED50
Log D = 0,025 x (0,35)
III.2 Uji Antidota
No
|
Sediaan
Obat vs Antidota
|
Dosis
|
Gejala
Klinis
|
1.
|
a.
Xylaxin
|
1 ml
|
Gejala yang ditimbulkan cepat, langsung menunjukan gejala :
· Diam / terdepress
|
b.
Xylaxin + arang
|
1 ml
|
Gejala yang ditimbulkan relative
lebih lama,
· Menunjukkan perilaku eksplorasi
· Menggaruk-garuk.
|
|
2.
|
a.
Propoksur
(sulfonamide : merk dagang HIT)
|
1 ml
|
Gejala yang ditimbulkan lebih cepat,
menunjukan gejala:
·
Ekor
berdiri
·
Gangguan
pernafasan (dypsnue)
·
Gangguan
system saraf
·
Kematian
setelah 3 menit
|
b. Propoksur (sulfonamide : merk dagang
HIT) + Atropin
|
1
ml
|
Gejala yang ditimbulkan relative
lebih lama dibandingkan dengan tanpa antidote:
· Grooming / menggaruk-garuk mulut
· Conclusi
· Tremor
· Dypsnue
|
|
3.
|
Keracunan atropin
|
1
ml
|
Gejala
yang dialami mencit :
· Mencit menekan perutnya ke dasar
· Mengalami gangguan pernafasan
· Superficial
· Mukosa dan daun telinga pucat
|
III.3 Uji Presipitasi Tanin terhadap logam
merkuri (Hg)
No
|
Jenis logam dan Absorben
|
Hasil
|
1
|
Merkuri (Hg) + Tanin
|
Ada endapan, namun tidak menunjukkan
adanya presipitasi. Atau presipitasi negative (-)
|
Pada percobaan pertama yaitu Lethal dose 50 (LD50), adalah dosis yang dapat
menimbulkan kematian pada 50% hewan percobaan. Selain LD50, ada pula ED50 yaitu
dosis yang efektif pada 50% hewan percobaan. Margin of safety (batas
aman) adalah jarak antara ED50 dan LD50, serta perbandingan keduanya disebut
indeks terapi. LD50 dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies hewan, diet,
rute pemberian, temperatur, musim, serta faktor endogen (umur, berat badan,
jenis kelamin, serta kesehatan, hewan).
Digunakan obat yang
biasa digunakan sebagai obat anastesi oleh kesehatan manusia dan hewan yaitu
xylazine. Xylazine merupakan obat agonis reseptor adrenergik alpha 2, sedativa
non narkotik yang paling kuat dan analgesik visceral yang baik dan menimbulkan
relaksasi muskulus (Sawyer, 1982; Tenant, 2002). Efek sedativa dan analgesik
akan mendepres sistem syaraf pusat dan relaksasi muskulus didasarkan atas
hambatan transmisi impuls intraneural dalam sistem syaraf pusat. Efek samping
yang dilaporkan dalam penggunaan klinis adalah terjadi hipertensi, bradikardia
dan muntah sehingga perlu diberikan premedikasi menggunakan Atropine Sulfat.
Dosis yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kgBB secara intramuskuler atau subkutan.
Efek dari xylazine dapat bertahan selama 1-2 jam (Sawyer, 1982).
Percobaan
dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 sediaan serta pengaruh pemberiannya pada hewan coba yakni mencit.
Xylacin disuntikan pada mencit secara IM dengan dosis bertingkat (0,2-0,1-0,05-0,025). Hal
tersebut dilakukan karena rumus yang akan digunakan berdasarkan dosis kelipatan
biometrik, sehingga mempermudah penghitungan dan pengamatannya.
Hasilnya menunjukan kematian mencit terjadi secara bertingkat seperti dosis
yaitu 4,3,2,1 ekor. Hal ini menunjukkan kaitan yang nyata antara dosis dan
kematian hewan. Pada praktikum ini, gejala fisik yang terjadi pada hewan antara
lain Bulu berdiri, Kejang, Ekor berdiri, Kesulitan bernafas dan Hipersalivasi.
Hal ini terjadi karena efek dari obat analgesic xylacin mendepres sistem syaraf pusat dan relaksasi muskulus, serta dapat menyebabkan hipertensi dan bradikardia,
sehingga hewan kejang dan kesulitan bernafas.
Percobaan antidota dilakukan dengan
menggunakan Xylacin dan arang yang bertindak sebagai absorben, atau
mengeliminasi obat. Hasil yang didapatkan pada mencit yang disuntikkan xylacin
dan arang adalah menggaruk-garuk dan ekplorasi yang merupakan efek dari xylacin
yang bekerja pada system syaraf dengan mendepres
sistem syaraf pusat dan relaksasi muskulus. Namun keberadaan arang sebagai
absorben dapat menghambat kerja depressor obat xylacin. Arang
aktif adalah salah satu antidotum yang baik dan efektif untuk mengikat racun
endosulfan. Namun kelemahan dari bahan
ini adalah penggunaan yang cukup tinggi untuk mencapai efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan mencit yang tidak
dicampur dengan arang, yakni hanya disuntikkan xylacin, hewan langsung
mengalami depresi dan diam. Karena obat xylacin langsung bekerja mendepres sistem syaraf pusat dan relaksasi muskulus
didasarkan atas hambatan transmisi impuls intraneural dalam sistem syaraf
pusat.
Pada percobaan antidota selanjutnya
dilakukan uji terhadap propoksur yang terkandung dalam obat anti nyamuk (merk
dagang HIT). Berdasarkan hasil yang diperoleh, mencit yang disuntik propoksur
ini mengalami gangguan pernafasan (dipsnoe), gangguan system syaraf dan
mengalami kematian dalam waktu 3 menit. Hal ini disebabkan oleh kandungan
organofosfat karbamat yang merupakan ester asam N-metilkarbamat. Yang bekerja dengan menghambat asetilkolinesterase
seperti insektisida Organofosfat dan
prosesnya cepat dan reversibel. Insektisida kelompok ini dapat bertahan dalam
tubuh antara 1 sampai 24 jam sehingga cepat diekskresikan. Insektisida karbamat
jenis propoksur masih digunakan sebagai insektisida rumah tangga. Insektisida
propoksur mempunyai waktu paruh sekitar 4 jam, sehingga insektisida jenis ini
cepat hilang namun tetap berbahaya jika terjadiakumulasi.
Sedangkan mencit yang disuntikkan
terlebih dahulu antidota sebelum diberikan propksur (HIT + atropine ), gejala
yang ditimbulkan relative lebih lama dibandingkan dengan tanpa antidote.
Meskipun gejala yang dialami mencit seperti menggaruk-garuk, konklusi, tremor
dan dipsnoe terjadi karena disebabkan oleh organofosfat carbamat namun efek
kerjanya diperpanjang oleh adanya atropine sebagai antidota.
Atropin dapat menimbulkan beberapa
efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan
pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi
bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi
dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata
Berikutnya dilakukan percobaan
keracunan atropine, dosis penggunaan ditingkatkan untuk melihat efek dan gejala
yang ditimbulkan.terhadap mencit, berdasarkan hasil pengamatan hewan mengalami
gangguan pernafasan, mukosa pucat, dan berusaha menekan perutnya ke dasar.
Percobaan terakhir adalah uji
presipitasi logam merkuri (Hg) oleh zat tannin dari teh. Tanin
merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik
Tanin terdiri dari sekelompok zat – zat kompleks terdapat secara meluas dalam
dunia tumbuh – tumbuhan.
Tanin
dapat berperan sebagai antidotum (keracunan alkaloid) dengan cara mengeluarkan
asam tamak yang tidak terlarut.
Selain itu kemampuan tannin untuk mempresipitasi protein termasuk merkuri yang
merupakan logam yang memiliki toksisitas yang cukup tinggi.
Berdasrkan hasi pengamatan, terdapat
adanya endapan Hg pada dasar tabung reaksi, namun tidak ada presipitasi. Hal
ini terjadi karena mungkin dosis tanin yang diberikan tidak cukup banyak
sehingga tidak mampu mempresipitasi merkuri (Hg).
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum yang dilakukan
membuktikan bahwa pemberian dosis
suatu zat sangat berpengaruh terhadap toksisitas suatu zat. Semakin tinggi
kadar dosis yang diberikan, maka tingkat toksistasnya juga semakin tinggi,
begitupun sebaliknya. Selain itu mengetahui efek antagonis dan agonis suatu
obat sangat berguna untuk penggunaan antidota. Namun tidak semua
jenis obat dapat berinteraksi (antagonis atau sinergis) dan menjadi antidota
obat yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan titik tangkap kerja obat
dan onset yang berbeda dari setiap obat. Interaksi dari dua atau lebih obat
yang berbeda dapat menimbulkan gejala klinis yang bervariasi.